Pengalaman lebaran tahun ini tidak terlalu berkesan bagiku.
Tapi, ada satu peristiwa yang akan kukenang seumur hidupku. Diceramahi oleh seorang
pemabuk pada malam lebaran. Mungkin hanya aku satu-satunya orang yang
mengalaminya.
Tanggal 30 Agustus adalah malam takbiran, dua jam sebelum
berbuka aku pergi ke rumah kakekku untuk memberikan kue, sirup, dan uang
sepuluhribuan yang dititipkan oleh ayahku. Aku dan kakakku pergi ke sana dengan
dengan jeep. Rumah kakekku tidak terlalu jauh, di desa baki, kabupaten Sukoharjo.
Setelah itu, aku langsung pergi ke rumah nenekku yang ada di
belakang rumahku. Semua anggota keluarga
besar sudah berkumpul di sana. Menjelang
buka bersama, kami membakar sate kambing yang sudah kusembelih bersama sepupuku
sebelumnya. Aku senang karena tahun ini semua berkumpul pada malam takbiran.
Tidak seperti biasanya, hanya beberapa keluarga saja yang datang.
Setelah shalat isyak, aku berkeliling membagikan kue pada
adik-kakak dari kakek dan nenekku. Aku tidak langsung pulang, aku pergi ke majlis
di sebelah rumahku untuk membagikan zakat. Saat aku akan pulang dari
berkeliling membagikan zakat, ayahku menelfonku. Aku disuruh membantu mengantar zakat dari masjid di belakang
rumahku ke panti asuhan. Jam 09.10, aku
pulang dan langsung istirahat, tetapi kakakku mengajakku menemaninya ke
vervetto untuk bertemu dengan sepupuku dari Jakarta. Di sana, kami hanya
ngobrol dan ngopi sampai jam 10.40. Setelah sampai di rumah, akhirnya aku bisa
istirahat dan mengakhiri hari yang panjang itu.
Jam dua tengah malam, peristiwa itu pun terjadi. Ada orang
yang mengetuk pintu samping rumahku dan menyerukan salam. Aku pura-pura masih
tidur, padahal pintu itu langsung masuk ke ruang tempat aku tidur. Ibuku keluar
dari kamar dan langsung membukakan pintu yang terkunci itu. Orang itu mendorong
ibuku masuk, dia langsung memegang tangan ibuku dan meminta maaf sambil
menangis padanya. Dalam bahasa jawa dia berkata, “Mbak, aku njuk ngapuro yo.
Saiki aku wes ra koyo mbiyen. Saiki aku wes gelem solat. Wayahe awan poso, aku
yo poso. Nek bengi, aku yo melu terwih, mbak. Neng, aku yo tetep ngombe, mbak.
Paling ra, aku wis gelem ngibadah. Sakbare ibuke raono, kabeh ndadi bubrah,
mbak. Sedulurku saiki wes podho ra aturan uripe. Mas Dodo, anake sing mbarep
wis meteng. Mbak Rina saiki bojone lungo mbuh nang ndi. Rudi saiki bojone loro,
ning ra iso makani mbak. Anake ibuke sing nggenah saiki mung aku thok, mbak.
Mbak, aku saiki njuk ngapuro, yo. Aku rene takrewangi menek pager lho mbak. Kui
mung nggo njuk ngapuro thok, mbak. Aku saiki wis bedo, mbak. Aku saiki wis oleh
hidayah seko Gusti Allah”. Ibuku hanya mengiyakan dan dia berbicara sedikit
sekali. Tidak seperti biasanya.
Dari balik selimut, aku mendengarkan pembicaraan antara
mereka. Aku mengenali suaranya. Dia adalah omku. Baunya seperti alcohol. Sangat
terasa sekali. Omku adalah seorang preman mapan di daerah Gilingan. Sudah
memliki pekerjaan tetap yang hasilnya sangat memuaskan. Dia memiliki tiga anak,
anak pertamanya sekarang kelas tiga SMP, anak keduanya belum lulus SD dan anak
ketiganya masih baru lahir lebaran tahun lalu. Dia sangat menyayangi
anak-anaknya. Dia memiliki badan yang besar, ada tato di lengan dan lehernya.
Dia memiliki kumis seperti limbad. Rambutnya gondrong. Matanya melongo, sangat
menakutkan. Hampir setiap hari dia pergi ke rumah paman yang ada di sebelah
rumahku untuk berbisnis. Aku juga sering mengajaknya untuk ‘lutisan’ ke
rumahku. Dia adalah saudara jauh yang sangat dekat dengan keluargaku. Pamanku
adalah anak dari kakekku dan nenek ipah, ibu dari omku. Ibuku anak dari kakekku
dengan nenekku, kakekku menceraikan nenek ipah dan setelah itu nenek ipah
menikah dengan kakek sarono dan memiliki empat anak, mereka adalah omku, dan
orang-orang yang dibicarakannya tadi.
Setelah aku tahu bahwa itu adalah omku, aku bangun. Matanya
merah, entah karena dia sedang mabuk atau karena menangis saat ‘sungkem pada
ibuku. Dia menyapaku, aku balik menyapanya. Dia menceramahiku agar jangan
sampai aku seperti saudaranya yang hidupnya amburadul. Aku menawarkan mangga
padanya, aku mengajaknya ‘lutisan’ tapi dia menolak karena sudah terlalu pagi.
Saat dia akan pulang, dia menyuruhku untuk langsung tidur. Dia juga berpesan
pada ibuku agar esok harinya ibuku memberi uang ‘fitrah’ pada anak-anaknya.
Dia keluar dari rumah, berjalan ke pagar aku membukakan
pagar. Dan ternyata, dia benar-benar melompat pagar karena kulihat gembok pagar
masih terkunci. Aku sangat kagum padanya. Dia mabuk untuk memberanikan dirinya
untuk ‘sungkem’ pada ibuku dan menceramahiku untuk pertama kalinya. Hebat sekali.
Mungkin suatu hari nanti aku tidak bisa mengungkapkan sesuatu pada seseorang,
aku akan mabuk agar bisa mengungkapkannya. hehe J
cerita : dari tman ku
cerita : dari tman ku
0 comments:
Post a Comment